Minggu, 20 Januari 2013

Studi Islam Kontemporer (Liberalisme, Pluralisme, & Modernisme



Studi Islam Kontemporer : Liberalisme, Pluralisme, dan Modernisme     
Oleh   : Siti Nurmaidah


A.     Pendahuluan

Dari masa kemasa Zaman makin berubah, pemikiran manusia mulai berkembang seiring dengan banyak kejadian dan fenomena yang mendukung kerja otak dan tingkah laku. Banyaknya paham-paham baru serta istilah-istilah baru untuk menginterpretasikan suatu hal dan masalah yang ada saat ini. Diantara banyak istilah yang ada tiga diantaranya merupakan liberalisme, pluralisme, dan modernisme. Tiga istilah tersebut merupakan istilah yang sering terdengar dan apabila diartikan atau diinterpretasikan kedalam bahasa Indonesia memiliki makna-makna tertentu.
Dalam studi islam kontemporer terkait dengan liberalisme, pluralisme, dan juga modernisme memiliki hakikat arti tersendiri yang disetujui dan tidak disetujui karena perbedaan paham dan juga paradigma disetiap pihak tertentu termasuk dalam aspek islam.
Dilihat dari berbagai aspek pendukungnya, liberalisme merupakan suatu istilah yang berarti suatu kebebasan yang telah menjadi hak seseorang dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam berpikir dan bertindak tanpa ada kaitanya dengan agama atau norma-norma adat istiadat. Seseorang memiliki kebebasan khususnya dalam hal pemikiran yang bebas yang didukung oleh tindakan. Contoh kecil yang seringkali terjadi berkaitan dengan hal tersebut sama halnya dengan mengungkapkan aspirasi atau bebas berpendapat dan tidak jarang seseorang cenderung melakukannya dengan turun kejalan untuk berdemo atau mengeluarkan pendapat mereka yang tentunya tanpa adanya kekerasan, karena hal itu mengganggu hak orang lain untuk merasa tenang dan tidak cemas. Kebebasan yang sebenarnya harus selaras degan apa yang telah ditetapkan oleh syariat  islam bukan hanya dengan mengikuti pemikiran semata tanpa adanya aturan yang mengatur kehidupan baik dari segi tindakan maupun perkataan.
Tidak jauh beda dengan pluralisme, paham tersebut merupakan suatu istilah yang ada kaitannya dengan liberalisme, namun perbedaannya adalah ketika liberal memiliki arti bebas dalam berpikir maupun bertindak, pluralisme memiliki arti banyak atau dengan kata lain yaitu jamak. Pluralisme berarti menganggap semua sama, anggapan sama adalah ungkapan untuk menyatukan adanya perbedaan baik dari aspek agama, budaya, serta bangsa yang begitu beraneka ragam. Meskipun demikian, masing-masing pemikiran tersebut tidak dapat dikatan bahwa semuanya sama terkait dengan agama sekalipun karena setiap individu pasti memiliki rasa mengaggungkan dan membenarkan apa yang telah dipercayai dan dianutnya. Ketentuan-ketentuan yang ada tidak jarang kita samakan meskipun sesuatu hal tersebut sangat sakralitas bagi kita.
Dalam lingkup modernisme juga tidak jauh beda dengan liberalisme dan pluralisme dalam keterkaitannya, akan tetapi dari segi arti modernisme berarti adanya kemajuan dari suatu pemikiran atau sifat yang menuju kepada perubahan dari yang tradisional atau yang terdahulu ke suatu kemajuan yang modern. Perubahan untuk maju  terkadang sampai berkeinginan untuk merubah sesuatu yang telah ada demi mengikuti perubahan jaman. Khusunya islam yang memiliki kitab Suci Al-Quran yang isinya tidak dapat diganti ataupun dirubah dengan apa yang telah ada didalamnya. Hal tersebut merupakan suatu kejadian yang telah beberapakali terjadi khususnya di Indonesia yang telah dilakukan oleh beberapa orang dari suatu organisasi untuk merubah dan mengganti dari isi Al-Quran.
Dengan studi islam kontemporer tentang liberalisme, pluralisme, dan modernisme harus disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan oleh AL-Quran dan Hadits maupun dari ijtihad yang telah dilakukan, sehingga tidak keliru pemahaman dari istiah-istilah tersebut.
B.      Liberalisme

a.      Pengertian Liberalisme
Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggung jawab. Tanpa adanya sikap tanggung jawab tatanan masyarakat liberal tak akan pernah terwujud.[1]
Liberalisme merupakan masalah kebebasan berpikir yang sebenarnya merupakan isu klasik dalam sejarah pemikiran islam. Isu itu mula-mula telah dilontarkan oleh Nabi saw sendiri, ketika mewawancarai Mu’adz ibn Jabal, ketika ia akan diangkat menjadi Gubernur Yaman. Bahkan juga telah muncul ketika Nabi melihat bahwa kata-katanya disalahpahami oleh seorang petani kurma di Madinah. Riwayat yang terakhir itu melahirkan adagium yang sangat terkenal “antum a’lamu bi umuri dunyaku”, engkau lebih tahu tentang masalah duniamu. Sedangkan riwayat pertama melahirkan konsep ijtihad, yang paling banyak diikuti oleh khalifah kedua Umar bin Khatab dalam memimpin negara melalui ijtihad-ijtihad, sehingga lahir konsep mengenai fiqih Umar bin Khatab yang dinilai banyak ahli menyimpang dari ajaran wahyu tetapi mengandung asas manfaat dan keadilan.[2]
Dalam liberalisme, penegakan hukum adalah sesuatu yang fundamental. Pengekangan atas tatanan publik dan keamanan adalah bertentangan dengan kebebasan, seperti yang dikatakan John Locke: : Berakhirnya fungsi agama bukan dengan cara melenyapkan atau menahan orang-orang yang dinilai melanggar, tetapi dengan cara melestarikan dan memperluas kebebasan”.[3]
Menurut John Locke, negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Bukan untuk menciptakan kesamaan, atau untuk mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, melainkan justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Dengan milik (property) dimaksud tidak hanya barang milik (estate), melainkan juga kehidupan (live) dan hak-hak kebebasan (liberties). Inilah hak-hak tak terasingkan (inalienable rights) dan negara justru didirikan demi untuk melindungi hak-hak asasi itu.[4]
Banyak hal yang terkait dengan liberalisme, namun dalam pandangan islam, sebaiknya dalam kebebasan yang diusung oleh suatu keliberalismean harus sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci Al-Quran dan Hadis. Bebas bukan berarti harus melakukan apa yang kita inginkan meskipun tanpa menganggu hak orang lain, namun sebagi seorang yang beragama, maka seharusnya kebebasan itu tidak melanggar atas apa yang disyariatkan.

b.      Ciri-ciri Pemikiran Liberalisme
Ciri-ciri pemikiran liberalisme yang paling menonjol adalah
a.      adanya kebebasan dalam berpikir yang kemudian di tuangkan dengan tindakan yang tidak mengganggu atas kebebasan pihak lain.
b.      Kebebasan berpikir juga mengacu pada ketoleransian dalam agama, suku, dan ras.
c.       Tidak mengambil agama dalam dasar pemikiran.
d.      Segala tindak dan tanduk didasarkan pada logika saja selama tidak menggangu hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan.





C.      Pluralisme

a.      Pengertian Pluralisme
Menurut Nurcholish Madjid, mengungkapkan tanggapannya tentang pluralisme dalam buku yang dikutip oleh Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”  (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.[5]
Masalah yang seringkali terjadi dalam pluralisme adalah keagaaman. Kegamaan menjadi hal yang sangat sakral dan sensitif bagi seluruh umat beragama diseluruh dunia tak terkecuai di Indonesia yang merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim dan memiliki banyak keragaman budaya, agama, dan juga suku. Namun, tak jarang masing-masing individu memiliki keegoan tersendiri khususnya dalam beragama. Ketika masalah budaya dan suku dalam pluralisme tidak begitu menjadi polemik, lain halnya ketika kita berbicara tentang pluralisme dalam hal keagamaan. Hal inilah yang selalu menjadi polemik tatkala masing-masing pihak memiliki emosi keagamaan yang tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita masih terikat oleh suatu kesakralan dalam beragama, mentaati, dan menjauhi apa yang telah diperintahkan oleh Allah.
Sakralitas merupakan pengakuan adanya yang kudus, serta hormat kepada sesuatu yang kudus, yang mengatasi kehidupan kita. Spiritualitas adalah sikap menganut setiap agama terhadap dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan agamanya, sementara moralitas adalah sikap seorang individu terhadap orang lain dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan dan kesempurnaan orang lain.[6]
Sumber ajaran umat islam merupakan Al-Quran dan Hadis yang didalamnya telah tertera perintah dan larangan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhi. Ketika segolongan umat islam memiliki pendapat dalam masalah pluralitas beragaman yang masing-masing memiliki ayat yang memperbolehkan dan tidak terhadap kepluralitasan, apakah setuju dan tidak setuju akan kepluralitasan kita dalam menilai keberagaman agama karena kesetujuan dan ketidak setujuan terhadap hal tersebut memiliki pandangan yang berbeda oleh sebagian umat islam baik dari kalangan ulama maupun masyarakat biasa.
Perkembangan kehidupan yang sangat cepat akhir-akhir ini dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, telah menimbulkan suatu pertanyaan yang cukup mendasar berkenaan dengan kedudukan fungsi agama. Kehidupan modern telah menunjukan bahwa sejarah hidup umat manusia dapat berjalan tanpa “campur tangan” agama.[7]
Sejalan dengan itu, umat beragama seringkali menimbulkan persoalan-persoalan itu terkait erat dengan paham keagamaan, tradisi, keluasan wawasan dan sebagainya yang tumbuh bersama atau yang disebabkan oleh keberagaman masing-masing individu.[8]
Dengan demikian, seharusnyalah orang menghilangkan penggambaran pengikut agama lain sebagai musuh untuk dapat hidup dalam kemajemukan secara harmonis. Ini memang tidak mudah. Pengakuan yang jujur akan memungkinkan “kesalahan” (disamping kebenaran yang biasanya diklaim adanya pada diri sendiri) dalam konsepsi sendiri dan kemungkinan “kebenaran” pada orang lain, sudah barang tentu diperlukan juga.[9]

b.      Ciri-ciri Pemikiran Pluralisme
Dari pemaparan tentang pengertian pluralisme, ada beberapa ciri tentang pemikiran yang pluralisme antara lain sebagai berikut:
1.      Adanya sikap netral terhadap perbedaan ras, suku, dan agama.
2.      Menjalin suatu kerjasama yang baik.


D.     Modernisme

a.      Pengertian modernisme
Modernisme adalah paham yang terkait dengan kemajuan berpikir seseorang dengan menghasilkan sesuatu yang baru sesuai dengan perubahan dari masa lampau menuju ke masa modern atau masa yang lebih maju. Pemikiran yang maju ada bernilai positif dan juga negatif. Modernisme dapat bernilai positif apabila ditempatkan pada tempat yang tepat. Misalnya, ketika pemikiran yang modern tersebut digunakan dalam ilmu pengetahuan dengan membuat sebuah penemuan baru berupa handphone yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Namu, ketika pemikiran yang modern tersebut tidak ditempatkan pada tempat yang tepat, maka itu dapat menyesatkan sehingga menimbulkan  problematika persoalan. Misalnya, pemikiran modern yang mencoba mengubah sebagian ayat Al-Quran demi menyetaraan dengan zaman yang baru. Hal tersebut pernah menjadi problematika di Indonesia oleh seluruh  umat muslim yang tidak setuju dan ditentang keras atas adanya pembaruan atau perubahan tersebut yang akan dilakukan oleh beberapa pihak yang tergabung dalam suatu organisasi.
      Sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. [10]Jadi, modern harus sesuai dengan logika, dapat dijelaskan dengan cara-cara yang ilmiah, dan harus sesuai dengan adanya hukum yang berlaku di alam.
      Dalam islam, modern pasti ada dengan kemajuan dan perubahan zaman yang sangat cepat, segala yang baru muncul dan berdatangan dimana yang pada zaman Rasulullah tidak ada namun pada zaman sekarang telah ada. Hukum dan peraturan yang ada yang telah ditetapkan dalam Al-Quran untuk mengatur seluruh kehidupan manusia dibumi tidak akan pernah dapat diperbarui atau dirubah seperti yang telah terjadi pada kitab-kitab agama lain, karena kitab Al-Quran selalu seiring dengan keadaan-keadaan zaman dari waktu. Namun demikian, kemodern yang kita kenal pada masa sekarang dalam islam kita kenal dengan istilah ijtihad. Ijtihad adalah istilah yang sangat terkenal, karena istilah tersebut merupakan istilah yang berarti mengacu pada penggalian terhadap hukum suatu benda, apakah benda tersebut diperbolehkan atau justru malah diharamkan ketika digunakan atau dikonsumsi.
      Ketika kita berbicara mengenai modernisme, maka ada beberapa istilah yang erat kaitannya dengan modernisme yaitu neo-modernisme.
Perbedaan mendasar antara kaum “modernis” dan “neo-modernis” terletak pada perhatiannya dalam tradisi. Kaum “neo-modernis” berusaha membangun visi islam di masa modern, dengan sama sekali tidak meninggalkan tradisi (warisan) intelektual islam itu sendiri sedangkan kaum “modernis lama” lebih banyak bersifat apologetik terhadap gagasan modernitas. Tentang hal ini, Nurcholish sangat menekankan pentingnya tradisi dalam kebangkitan islam Indonesia yang modern, seperti katanya “diperlukan kesadaran akan kekayaan tradisi, sekaligus kemampuan untu senantiasa membuat inovasi...(dalam) ruang Indonesia dan zaman modern”.[11]
     
b.      Ciri-ciri pemikiran modernisme
Terdapat beberapa ciri pemikiran yang modernisme diantaranya sebagai berikut.
a.      Selalu bersifat pembaharuan dengan penemuan-penemuan yang baru.
b.      Adanya hal-hal baru yang ingin diperbarui baik dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain.
     

E.      Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa segala bentuk istilah seperti liberalisme, pluralisme, dan modernisme adalah bentuk dari kemajuan bangsa. Namun dengan adanya istilah tersebut tentunya memiliki pemahaman yang berbeda dilihat dari segi arti dan juga fungsi pada setiap istilah yang ada. istilah yang bisa mengacu pada sesuatu yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan dalam agama. Dari hal tersebut maka disimpulkan bahwa penegertian dari suatu  istilah dapat memahamkan kita terhadap istilah tersebut sehingga memunculkan suatu tindakan terhadap setuju atau tidak. Maka dapat disimpulkan, pengertian dari liberalisme,pluralisme dan modernisme adalah sebagai berikut.
1.      Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas.
2.      Pluralisme adalah paham yang mengakui adanya pemikiran beragam agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain. Pemikiran yang menitik beratkan pada toleransi dalam perbedaan agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain.
3.      Modernisme adalah paham yang terkait dengan kemajuan berpikir seseorang dengan menghasilkan sesuatu yang baru sesuai dengan perubahan dari masa lampau menuju ke masa modern atau masa yang lebih maju. Pemikiran yang maju ada bernilai positif dan juga negatif. Modernisme dapat bernilai positif apabila ditempatkan pada tempat yang tepat.
Dalam ketiga istilah tersebut juga sangat berkaitan erat dan saling berhubungan satu sama lain jika ditinjau dari segi pengertian secara istilah yang sama-sama menekankan pada ketoleransian terhadap pendapat dan juga tidak adanya pertentangan atas perbedaan yang ada.




[1] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 3.
[2] Budhy Munawar-Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 36
[3] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 4
[4] Frans Magnis Suseno. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1999. Hal. 221.
[5] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta. Srigunting. 2001. Hal. 39.
[6] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 159.
[7] Ibid. Hal. 161
[8] Ibid. Hal. 161
[9] Ibid. Hal. 163
[10] Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan keindonesiaan. Bandung. Mizan. 2008. Hal. 180.
[11] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta. Srigunting. 2001. Hal. 356.

Fundamentalisme, Tradisionalisme, & Sekularisme

Islam dan Isu-isu Kontemporer
Oleh : Siti Nurmaidah
A.    Pendahuluan

Dalam kehidupan  modern saat ini, banyak berbagai permasalahan dan problematika kehidupan yang terjadi. Segala kejadian yang terus menerus dan berlangsung lama terjadi baik dari segi permasalahan sosial yang berkaitan dengan agama, suku, dan kebudayaan.  Dalam lingkup kehidupan sosial yang sekarang tidak sering kita mendapati berbagai istilah-istilah yang muncul pada masa kontemporer yang dikenal hingga saat ini. Isu-isu kontemporer tersebut sebenarnya dalam islam tidaklah dikenal, namun seringkali dijadikan sebagai problematika permasalahan dalam sosial, dikaitkan dengan islam karena arti sebenarnya dari istilah yang termasuk dalam isu-isu kontemporer tersebut merupakan hal yang terkadang bertolak belakang dari ajaran agama islam.
Berbagai isu-isu kontemporer tersebut berupa istilah-istilah seperti fundamentalisme, tradisionalisme, dan sekulerisme. Istilah-istilah tersebut merupakan isu-isu kontemporer yang awal mulanya timbul dari bangsa barat yang hingga saat ini masih sering kita dengar, lihat dan saksikan diberbagai media yang tidak jarang berupa buku, majalah, koran, televisi, dan radio.
Jika dikaitkan islam dan isu-isu kontemporer tidak jarang menimbulkan banyak spekulasi yang bermunculan dari berbagai pihak baik dari ormas-ormas islam yang menolak keras terhadap isu-isu kontemporer tersebut , maupun ulama-ulama besar islam. Sedikit dari pihak-pihak yang setuju akan adanya berbagai isu-isu kontemporer berupa istilah-istilah tersebut. Pemikiran yang bertolak belakang dengan islam jika dikaitkan antara istilah-istilah tersebut dengan islam adalah penyebab ketidak setujuan dari berbagai kalangan umat islam dan tidak jarang malah menimbulkan ke-antian terhadap negeri barat itu karena dianggap bahwa istilah-istilah tersebut berasal dari tradisi-tradisi barat.
B.     Islam dan Isu-isu Kontemporer

Dasar terhadap suatu pemikiran adalah islam sebagaimana yang telah menjadi apa yang kita yakini sebagai agama yang paling benar. Begitu pula dengan agama-agama lain yang berpikir demikian. Meskipun awal atau asal muasal dari munculnya isu-isu kontemporer lebih banyak dicetuskan oleh Negara barat atau doktrin dari agama non muslim, namun jika dibandingkan dengan keadaan sekarang yang mulai menafsirkan suatu istilah dari isu-isu kontemporer itu untuk semua agama di dunia dan bukan hanya terpaku pada satu aspek agama saja. Contoh konkrit dari hal tersebut adalah ketika menyebut istilah fundamentalisme. Kata fundamentalisme merupakan suatu istilah yang awal mulanya dicetuskan oleh Negara-negara barat yang kini mulai umum digunakan dan tidak mengkhususkan pada satu aspek agama saja. hal yang paling konkrit adalah ketika kita sering mendengar kata “fundamentalisme dalam beragama”. Kata tersebut membuktikan bahwa tidak lagi adanya pengkhususan terhadap istilah-istilah yang muncul pada masa kontemporer yang meskipun demikian dicetuskan oleh Negara-negara barat yang kini mulai diangganp sebagai suatu yang umum.
Kitab Al-Quran memiliki sejarah yang benar-benar berbeda. Sebagimana telah kita ketahui semenjak ia untuk pertama kalinya diturunkan kepada manusia, ia dihafalkan serta ditulis selam Nabi Muhammad saw masih hidup. Adalah kenyataan bahwa Al-Quran tidak menghadapi masalah tentang keautentikan. [1]
Islam mengatur segala sesuatu yang terjadi dibumi maupun diseluruh jagat raya ini. Segala sesuatu diatur sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Quran dan hadis baik kehidupan manusia dan prilakunya serta hal-hal yang berkaitan dengannya, apakah hal tersebut boleh dilakukan atau tidak, serta menjadi tolak ukur sesuatu hal dikatakanboleh atau tidak yang semua itu telah diatur kebolehannya. Begitu pula dengan isu-isu kontemporer yang berupa istilah-istilah dimana istilah-istilah tersebut berawal dari pencetusan oleh Negara-negara berat yang berkaitan dengan agamanya (non muslim). Perlu jeli menanggapi istiah tersebut atas setuju dan tidak setujunya atau pro dan kontra kita terhadap hal tersebut karena memungkinkan kita menjadi seorang yang bisa dianggap   kafir oleh sebagian pihak lain. Meskipun kafir dan tidaknya sesungguhnya tidak dapat dinilai hanya dengan pro dan kontra kita terhadap suatu istilah saja. namun sebagai seorang yang beragama islam haruslah memperhatikan hal ini dengan sangat jeli.
Terkait hal ini, banyak memunculkan gerakan-gerakan pembela islam. Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan yang  bertujuan untuk membela islam segala hal harus sesuai dengan islam.
Akar gerakan islam kontemporer adalah situasi dimana perbedaan-perbedaan paham antara kedua aliran keagamaan (tradisionalis-modernis) seringkali berkembang menjadi perselisihan yang tajam. Perselisihan yang berkepanjangan ini, disamping semakin mengecilnya pengaruh simpati terhadap organisasi (wadah) umat islam indonesia, juga telah menimbulkan ketidak pastian bagi sejumlah komunitas islam dalam memilih alternatif panutan keagamaannya. Khususnya yang menyangkut sikap-sikap politik. Situasi demikian inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan islam kontemporer  di Indonesia yang bervariasi. Adapun contoh dari gerakan islam kontemporer indonesia, diantaranya ialah Gerakan Islam Jamaah, Gerakan Kelompok Islam Isa Bugis, Gerakan Jamaah Islam Durani, dan sebagainya. Sekalipun gerakan-gerakan tersebut tidak muncul lagi dalam bentuk organisasi karena dilarang oleh pemerintah, namun pemikiran dan pemahaman ajaran yang pernah dikembangkan oleh gerakan-gerakan tersebut telah banyak menimbulkan dampak sosial bagi penganutnya waktu itu dan pada masyarakat islam lainnya.[2]
Kesempurnaan islam tidak menafikan agama lain. Islam datang tidak dalam ruang hampa, tetapi islam datang sebagai penyempurna bagi agama atau ajaran-ajaran sebelumnya. Islam datang sebagai perekat agama-agama sebelumnya.[3]




C.    Fundamentalisme

a.      Pengertian Fundamentalisme
Fundamentalisme adalah  paham atau pemikiran yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas.  Secara etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundamental yang berarti hal-hal yang mendasar atau asas-asas. Sebagai sebuah gerakan (komunitas) keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci. Gagasan dan posisi umat beragama yang mengacu pada istilah “fundamentalisme” tampaknya masih perlu dielaborasi lebih jauh lagi.
Kontroversi mengenai istilah “fundamentalisme” berasal dari kenyataan bahwa istilah tersebut bukan berasal dari islam atau agama-agama lainnya, melainkan berasal dari agama Kristen protestan. Pandangan dasar yang menandai gerakan fundamentalisme protestan ini adalah bahwa orang harus berpegang teguh pada kitab suci secara leterlek, lebih-lebih dalam menghadapi pandangan evolusionisme Darwin yang pada saat itu ramai dibicarakan kalangan agama.[4]
Tetapi, walaupun asal-usul istilah fundamentalisme itu bukan berasal dari islam, sebagian sarjana dapat menerimanya untuk dipakai dalam rangka menjelasakan fenomena tertentu dari gerakan islam dengan catatan bahwa istilah itu tidak dipakai sebagai cap atau label untuk mendiskreditkan islam sebagaimana yang sering kali dilakukan oleh media massa melainkan sebagai sebuah konsep akademik yang netral. Selain istilah “fundamentalisme islam” beberapa sarjana juga menggunakan istilah “islamisme” sebagai padanannya, sementara yang lain mencoba menggunakan istilah lain seperti “revivalisme”. Sementara itu banyak sarjana yang menilai bahwa fenomena gerakan fundamentalisme islam sebenarnya adalah gerakan politik sehingga mereka menyebutnya dengan “islam politik”.[5]
Terlepas dari perbedaan sikap terhadap istilah “fundamentalisme islam” ini, kenyataan yang ada menunjukan bahwa istilah itu masih digunakan hingga sekarang, bahkan oleh mereka yang cukup kritis terhadap penggunaan istilah tersebut. Jadi, yang terpenting barangkali bukanlah istilah itu sendiri  melainkan pengertian yang kita berikan terhadap istilah tersebut.[6]
Adanya fundamentalisme dalam agama juga telah memunculkan bebera organisasi kemasyarakatan. Lebih tepatnya bukan organisasi tetapi majelis ilmu, karena didalamnya juga membahas kajian-kajian tentang islam.
Menurut Tarmizi taher dalam bukunya menyatakan bahwa, krisis yang muncul dalam negara-negara yang baru ini memberi ruang bagi sementara kalangan agamawan untuk membentuk gerakan-gerakan radikal. Mereka berusaha menolak tatanan yang ada, baik sistem negara, hukum dan kebudayaan, untuk kemudian diganti dengan sistem islam. Penolakan mereka sangat radikal, dan begitu juga konsep kehidupan yang mereka tawarkan. Berbeda dari kaum revevalis yang sekadar ingin mengembalikan kemurnian islam atau kaum reformis yang bertujuan memodernisasi islam, kalangan radikalis memepercayai kesempurnaan islam bagi seluruh dimensi kehidupan. Oleh karenanya, mereka terus berusaha mengganti semua institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik dengan model islam.[7] Memang benar adanya bahwa ketika tingkat emosi keagamaan itu muncul maka benar dikatakan bahwa umat islam hanya menginginkan islam sebagai aturan hidup, bukan hanya dalam proses peribadatan saja, namun mencakup lingkup sosial, budaya, dan agama. Ketika disandingkan dengan islam, sesungguhnya islam telah mengatur semua tatanan hidup manusia baik dari segi aturan ekonomi, hukum, sosial, kebudayaan, dan lain-lain. Kesempurnaan yang dimiliki oleh islam yang tidak dimiliki oleh agama lain sangat dirasakan bagi seorang yang mendalami betul arti islam, menerapkan dalam kehidupan, cara berpikir dan berpandang. Sehingga tidak heran jika dikatakan bahwa kelompok yang menolak berbagai  tatanan  pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan sistem islam mengetahui bahwa esensi  islam itu sendiri. Jadi tidak dapat kita menyalahkan terhadap hal tersebut.
Namun demikian, dengan tidak terwujudnya masyarakat yang adil, para penguasa muslim dianggap sebagai penerus kebijakan –kebijakan ekonomi  dan politik yang pada abad pertengahan 1970-an, telah mengantarkan pada krisis yang memunculkan gerakan-gerakan fundamentalis.[8] Gerakan-gerakan inilah yang sering memunculkan banyak  spekulasi bahkan gerakan-gerakan ini dianggap sebagai teror kancah politik. Tampaknya, sampai dimanapun perdebatan ini akan senantiasa ada, namun yang jelas untuk sementara waktu bahwa berbagai peristiwa teror, bom bunuh diri dan lain-lain sejenisnya akhir-akhir ini selalu diidentikan dengan islam.[9]

b.      Perspektif Islam Terhadap Fundamentalisme

Telah dijelaskan sebelumnya mengenai istilah-istilah tentang fundamentalisme dan asal usulnya. Dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah “fundamentalisme”. Kita hanya mendapatkan kata dasar istilah itu, yaitu al-ashlu  dengan makna “dasar sesuatu “ dan “kehormatan” . bentu pluralnya adalah ushul.  Dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan.[10] Berikut beberapa Ayat yang menyangkut dengan hal tersebut.
Artinya:
·         Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan Karena dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik. (QS. Al- Hasyr : 5).
·         Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dan dasar neraka yang menyala. (QS. As-saffat : 64).
·         Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (QS. Ibrahim:24).

Dari ayat diatas, warisan keilmuan islam dan peradabannya, serta kamus-kamus arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah ‘fundamentalisme’ dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas istilah ini.[11]
Agama islam sebagai sebuah intuisi kebenaran yang dijustifikasi oleh seluruh lapisan dan stratifikasi  sosial, memainkan peranan penting bagi kelangsungan gerakannya dan menjadi sebuah mekanisme internal yang terpenting dalam perkembangannya, karena memuat seperangkat doktrin yang dirumuskan dalam sebuah maksud dan tujuan gerakan yang diantaranya adalah fundamentalisme yang digunakan untuk menyebut gerakan keagamaan dalam berbagai karya tulis, telah menjadi istilah yang sangat popular dan bahkan controversial. Meskipun pada mulanya fundamentalisme menunjuk sebuah fenomena gerakan Kristen Protestan , namun sekarang istilah ini secara luas dipakai untuk menyebut gerakan yang terjadi dikalangan masyarakat  Islam, Katolik, (sunni, syiah), Yahudi, Hindu Budha dan Zoroaster.[12]
Meskipun demikian, jika makna fundamentalisme itu ditekankan pada originalitas sumber serta prinsip-prinsip dasar ajaran islam terdapat kelompok kecil aliran pemikiran dalam islam,tapi secara intelektual sangat penting, yang bisa dideskripsikan sebagai fundamentalisme. Kelompok ini berpendapat bahwa Al-Quran  dan Sunnah merupakan pokok sumber ajaran islam dan mengikat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari; bahwa produk pemikiran keagamaan klasik dan pertengahan tidak mengikat; bahwa dalam beberapa hal produk pemikiran ini mengakibatkan kemalasan berpikir dalam islam; bahwa selama masa kekaisaran islam, banyak penguasa muslim mengakomodasi terlalu banyak tradisi lokal yang non islam; bahwa paling tidak terdapat tarekat sufi terlibat dalam praktik-praktik ajaran non islam; bahwa mengkultuskan diri seseorang dinilai sebagai politeisme; dan bahwa setiap muslim harus mempelajari dan mengamalkan Al-Quran dan Sunnah serta menghilangkan taqlid buta, karena ini penyebab kemunduran umat.[13] 

D.    Tradisionalisme

a.      Pengertian Tradisionalisme

            Berbicara tentang tradisionalisme, sesungguhnya adalah sifat ideologis dalam arti merupakan         sebuah paham atau pandangan yang dipegang oleh sekelompok masyarakat yang sifatnya dogmatis dan tertutup karena berpegang kuat atau dipandang sebagai sebuah kebenaran yang sifatnya final atas pandangan yang dipegangnya itu. Jadi tradisionalisme merupakan sebuah sikap seseorang terhadap sebuah tradisi. Jika seseorang tersebut menerima begitu saja sebuah tradisi apa adanya tanpa sikap kritis, maka sikap seperti inilah yang dianggap sebagai sikap tradisionalis.[14]
            Baik istilah tradisionalisme maupun istilah tradisionalis, keduanya bersifat negatif.  Harun Nasution berpendapat bahwa tradisionalisme itu adalah golongan umat islam yang berpandangan sempit dan bertentangan dengan modernisasi. [15]Tampaknya pandangan Harun Nasution ini adalah implikasi teologinya yang mendikotomikan antara teologi rasional dan teologi tradisional.[16]
Teologi rasional memberikan  penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal ketimbang wahyu yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah, sedangkan teologi tradisional kurang memberikan penghargaan terhadap akal dalam arti wahyu lebih besar peranannya diwahyukan asy’ariyah.[17]Mungkin itulah sebabnya sehingga Harun mendikotomikan pula antara Islam tradisional dengan modernisasi, sebab modernisasi pada hakikatnya adalah identik dengan rasionalisasi sebab di era modern, aliran filsafat yang mendominasi peradaban barat dan juga mengalir deras keperadaban timur adalah aliran rasionalisme dan empirisme. Aliran pikiran ini pulalah yang melahirkan pola pikir, oleh Nurcholis Madjid setelah pola pikir ini di islamkan ala Indonesia dengan istilah sekularisasi, yang juga bermakna rasionalisasi dalam arti menyakralkan yang sakral memprofankan yang profana, jangan mencapuradukkan. Namun ternyata di era kontemporer, era millenium ke tiga ini, meskipun arus modernis masih kuat, akan tetapi ternyata model pemikiran era modernis yang telah digugat oleh pola pikir postmodernis, yang salah satu ciri khasnya adalah bangkitnya kembali kesadaran spiritual, yang mana arus berpikir postmodernis tersebut adalah juga lahir di barat atau dalam tradisi intelektual barat.[18]Keterlibatan agama yang semakin kurang dalam arena politik telah membawa dampak yang cukup fundamental tidak hanya dalam kehidupan politik umat islam, tetapi juga pada perkembangan pemikiran agama.[19]

b.      Perspektif Islam terhadap Tradisionalisme

Tradisionalisme memang erat kaitannya dengan tradisi baik islam maupun tradisi yang diambil dari budaya lokal yang kemudian disatukan. Dalam islam, menilai bahwa jika tradisi tersebut bertentangan dengan hukum-hukum syariat , maka tradisi tersebut tidak boleh atau haram dilakukan. Seperti dalam hadis Rasulullah yang dikutip dalam Dr. Supriyanto bahwa: “ Setiap hal yang bersifat baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka”. 
Hal tersebut merupakan masalah yang sebenarnya sangatlah terbukti masih ada hingga sekarang ini karena semua menyangkut ke tradisionalisme, jika sebagai umat islam tinggal memilih mana yang boleh dan tidak boleh. Jadi, jika semuanya dikembalikan pada Al-Quran dan hadis, maka masalah-masalah seperti inipun akan dapat diselesaikan meskipun tidak jarang terjadi silang pendapat antara pihak satu dan yang lainnya.

E.     Sekulerisme

a.      Pengertian Sekularisme

Istilah ini berasal dari kata latin speculum yang berarti “masa” karena itu sekuler berarti “beriorentasi pada masa sekarang”. Sekularisme adalah sebuah doktrin, semangat, atau kesadaran yang menjunjung tinggi prinsip kekinian mengenai ide, sikap, keyakinan, serta kepentingan individu. Sekularisme, dalam karakteristiknya seperti yang ada didunia barat, adalah formulasi ide yang menegaskan bahwa antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda dan terpisah. Pengertian ini berdasarkan pada pengakuan bahwa “agama merupakan sebuah keyakinan yang dipegang teguh manusia meskipun dalam pandangan yang berbeda”.[20] Selain itu ada juga pernyataan lain mengenai arti atau makna dari sekularisme.
Sekularisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah intuisi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu sebuah agama tertentu. Istilah sekulerisme, pertama kali digunakan oleh penulis Inggris George Holoyake pada tahun 1846. Walaupun istilah yang digunakannya adalah baru, konsep kebebasan berpikir darinya sekulerisme didasarkan, telah ada sepanjang sejarah. Ide-ide sekuler yang menyangkut pemisahan filsafat dan agama dapat dirunut baik ke Ibn Rusyd dan aliran filsafat Averoisme.[21]
Beberapa hal tentang sekularisme yang bisa dijelaskan secara singkat dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
a.       Urusan agama adalah wewenang pihak gereja,sedangkan urusan kehidupan dunia adalah wewenang masyarakat pada umumnya. Agama adalah urusan individu yang tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan publik dan kenegaraan.
b.      Tuhan telah menciptakan manusia, adapun hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia diserahkan sepenuhnya kepada manusia untuk membuatnya.
c.       Dari paham sekulerisme ini terpancarlah aturan-aturan dan sistem kehidupan terpancarlah darinya sistem ekonomi (kapitalis), sistem pergaulan kehidupan yang bebas dan permissive (liberal) dan sistem politik pemerintahan (demokrasi).[22]
Terkait tentang sekularisme yang telah dijelaskan diatas, perdebatan tentang sekularisme didunia islam telah diwarnai oleh dua kesalahan umum, yang selama ini diangganp benar. pertama yaitu keyakinan bahwa banyak orang islam yang menyamakan antara sekularisme dan atheisme, tidak bertuhan, penyimpangan, agnotisisme, materealisme, nihilisme, relativisme etika, dan tidak mengenal agama. Padahal sekularisme tidak seperti itu. Sekularisme bukanlah sesuatu yang a-moral, tetapi suatu doktrin yang mendasarkan standar etika dan tingkah laku pada referensi kehidupan sekarang dan kesejahteraan sosial tanpa merujuk pada agama. Dengan kata lain, penekanan sekularisme adalah pada universalitas nilai-nilai spiritual yang dicapai melalui banyak cara. Kesalahan kedua berkaitan dengan ide bahwa keyakinan islam menentang sekularisasi dan karena itu tidak memiliki potensi sama sekali terjadinya proses sekularisasi.pernyataan ini didukung oleh alasan-alasan. Pertama, sebagian para mufassir menyatakan bahwa islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Kedua, mereka juga menyatakan bahwa hukum islam tidak bisa dengan mudah melakukan modifikasi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan yang lain. Ketiga, sekularisasi dalam masa islam (Al-Quran)  dinilai sangat sulit. [23]
Memang banyak ketidaksetujuan terhadap sekularisme ini, karena dianggap memisahkan antara agama dalam kehidupan, baik dalam politik maupun pemerintahan. Tidak hanya itu, namun terdapat beberapa kelompok sekularisme dalam islam yang tujuannya untuk menggantikan islam dalam segala bidang.
Penolakan terhadap sekularisme itu tidak hanya dilakukan oleh kalangan cendekiawan muslim, tetapi juga dikalangan elite kristen. Seorang pendeta Protetsan terkemuka pernah mengemukakan persepsinya mengenai sekularisme, bahwa sekularisme adalah suatu paham yang ingin menjauhkan masyarakat dari Tuhan dan agama. Paling tidak memang ada bukti sejarah, bahwa melalui sekularisme, negara menjadi curiga bahkan anti agama. [24]
Sesungguhnya esensi seluruh agama, khususnya agama wahyu tidak mengenal polarisasi sistem kehidupan antara dunia dan akhirat, sebab esensinya adalah tauhid dan moral, dalam arti moral yang merupakan implementasinya dari tauhid (monoteisme) tersebut. Akan tetapi interpretasi tauhid dan moral yang dipersepsi oleh manusia dalam berbagai sistem kultur dan budaya manusia dalam batas-batas tertentu adalah beragam, meskipundiakui akan adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, kebijakan, serta kearifan yang berlaku universal. Berbagai kendala yang menghadang berkaitan dengan isu sekularisme ataupun sekularisasinya kontemporer apabila agama islam sebagai rahmatan lil aalamin dapat diatasi  jika pendekatan yang berbasis kearifan lokal dengan kearifan universal dapat diintegrasikan sesuai dengan semangat  Al-Quran serta semangat kemajuan zaman.[25]
Memang benar bahwa, agama dan ‘sentimen agama’ memang merupakan dua hal yang berbeda. Siapapun sepakat Bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang religius. Agama telah memiliki akar budaya yang kuat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan seperti bangsa-bangsa Asia lainnya, agama menjadi sumber legitimasi sosial yang tidak bisa diabaikan.[26] Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan dalam ajaran islam, yakni agama adalah kebutuhan fitrah manusia.[27] Jadi, terlihat bahwa masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan agama dari kehidupannya, meskipun masih ada beberapa hal yang agama tidak dicampuradukan dalam masalahnya.  

b.      Perspektif Islam terhadap Sekulerisme

Ketika dikaitkan sekularisme dengan islam, maka ada beberapa hal yang memiliki keterkaitan dan ketidak sesuaian antara sekularisme dan islam. Hal yang sangat konkrit adalah ketika kita mengimani islam, maka pada saat itu pula kita melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang atau diharamkan.
Perspektif islam terhadap sekularisme dapat dari firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut.
Artinya:
2. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat.
3.  Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
4.  Sesungguhnya kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. (Al-Insan : 2-4)


Ayat-ayat di atas memberitahu dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah SWT, berupa perintah dan larangan.
Selain itu, perintah untuk tidak memisahkan agama (islam) dari urusan dunia termasuk politik dan keteraturan dalam pemerintahan, sosial dan ekonomi, juga telah tertulis dalam firman Allah SWT berikut ini.
Artinya:
·         Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah :208).

·         Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah : 48)
Dari ayat diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, sega yang kita lakukan didunia, ketika sudah mengimani islam maka perintah untuk menjalankan perintah dan larangan secara keseluruhan. Jadi, tolak ukur boleh dan tidak boleh kita sandarkan atas apa yang telah diperintahkan dan dilarang dalam kitab suci Al-Quran dan Hadis dan tidak memisahkan kehidupan kita dari agama apapun bentuknya.

F.     Kesimpulan
Dari pemaran diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Islam dan isu-isu kontemporer merupakan dua hal yang berbeda, namun jika dilihat dari cara pandang yang berbeda dari masing-masing pihak, maka akan menimbulkan perspektif atau spekulasi yang berupa interpretasi berbeda pula. Meskipun secara arti dan asal-usul bersumber memang bukan dari islam, tapi tidak salah jika kita lebih teliti dan jeli dalam menaggapi isu-isu kontemporer yang ada jika ingin mengaitkannya dengan islam.
2.      Fundamentalisme adalah  paham atau pemikiran yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas.
3.       Tradisionalisme merupakan  sebuah paham atau pandangan yang dipegang oleh sekelompok masyarakat yang sifatnya dogmatis dan tertutup karena berpegang kuat atau dipandang sebagai sebuah kebenaran yang sifatnya final atas pandangan yang dipegangnya itu. Jadi tradisionalisme merupakan sebuah sikap seseorang terhadap sebuah tradisi.
4.      Sekularisme adalah sebuah doktrin, semangat, atau kesadaran yang menjunjung tinggi prinsip kekinian mengenai ide, sikap, keyakinan, serta kepentingan individu. Sekularisme, dalam karakteristiknya seperti yang ada didunia barat, adalah formulasi ide yang menegaskan bahwa antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda dan terpisah.




[1] Dr. Maurrice Bucaille, dkk. Pengetahuan Modern Dalam Qur’an. Surabaya. Al-Ikhlas. 1995. Hal. 37.
[2] Drs. Ahmad Syaukani. Perkembangan Pemikiran Modern Di Dunia Islam. Bandung. Pustaka setia. 1997. Hal. 13.
[3] M. Imdadun Rahmat. Islam Pribumi. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2003. Hal. 146.
[4] Dr. Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2008. Hal. 4.
[5] Ibid. Hal. 4-5.
[6] Ibid. Hal. 5.
[7] Tarmizi Taher dan Eddy Kristiyanto, dkk. Radikalisme Agama. Jakarta. PPIM-IAIN. 1998. Hal. 30.
[8] Haideh Moghissi. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Yogyakarta. LKiS Yogyakarta. 2004. Hal. 2.
[9] Abbas T. Metodologi Studi Islam. Kendari. CV. Sahdar. 2008. Hal. 123.
[10] Dr. Muhammad Imarah. Fundamentalisme dalam Perspektif Barat dan Islam. Jakarta. Gema Insani. 1999. Hal. 12.
[11] Ibid. Hal. 13.
[12] Ahmad Jainuri. Orientasi Gerakan Islam Konservatisme, Fundamentalisme, Sekulerisme, dan Modernisme. Surabaya. LPAM. 2004. Hal. 69-70.
[13] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 135-136.
[14] Ibid. Hal. 145.
[15] Harun Nasution. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran. Bandung. Mizan. 1998. Hal. 152.
[16] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 142.
[17] Harun Nasution. Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah Perbandingan. Jakarta. UJ-Press. 1986. Hal. 86-87.
[18] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 156.
[19] Johan Efendi. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi. Jakarta. Kompas. 2010. Hal. 116.
[20]Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 154.
[21] M. Nur Kholis Setiawan. Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Quran. Jakarta. Kencana. 2008. Hal. 20.
[22]Ibid. Hal. 21.
[23] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 155.
[24] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Sekularisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 26.
[25] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 158-159.
[26] Moeslim Abdurrahman. Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2003. Hal. 49-50.
[27] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. Jakarta. Rajawali Press. 2008. Hal. 16.