Islam dan Isu-isu Kontemporer
Oleh : Siti Nurmaidah
A.
Pendahuluan
Dalam
kehidupan modern saat ini, banyak
berbagai permasalahan dan problematika kehidupan yang terjadi. Segala kejadian
yang terus menerus dan berlangsung lama terjadi baik dari segi permasalahan sosial yang berkaitan dengan agama, suku, dan
kebudayaan. Dalam lingkup kehidupan
sosial yang sekarang tidak sering kita mendapati berbagai istilah-istilah yang
muncul pada masa kontemporer yang dikenal hingga saat ini. Isu-isu kontemporer
tersebut sebenarnya dalam islam tidaklah dikenal, namun seringkali dijadikan
sebagai problematika permasalahan dalam sosial, dikaitkan dengan islam karena
arti sebenarnya dari istilah yang termasuk dalam isu-isu kontemporer tersebut
merupakan hal yang terkadang bertolak belakang dari ajaran agama islam.
Berbagai isu-isu kontemporer tersebut berupa
istilah-istilah seperti fundamentalisme, tradisionalisme, dan sekulerisme. Istilah-istilah
tersebut merupakan isu-isu kontemporer yang awal mulanya timbul dari bangsa
barat yang hingga saat ini masih sering kita dengar, lihat dan saksikan
diberbagai media yang tidak jarang berupa buku, majalah, koran, televisi, dan
radio.
Jika dikaitkan islam dan isu-isu kontemporer
tidak jarang menimbulkan banyak spekulasi yang bermunculan dari berbagai pihak
baik dari ormas-ormas islam yang menolak keras terhadap isu-isu kontemporer
tersebut , maupun ulama-ulama besar islam. Sedikit dari pihak-pihak yang setuju
akan adanya berbagai isu-isu kontemporer berupa istilah-istilah tersebut.
Pemikiran yang bertolak belakang dengan islam jika dikaitkan antara
istilah-istilah tersebut dengan islam adalah penyebab ketidak setujuan dari
berbagai kalangan umat islam dan tidak jarang malah menimbulkan ke-antian
terhadap negeri barat itu karena dianggap bahwa istilah-istilah tersebut
berasal dari tradisi-tradisi barat.
B.
Islam dan Isu-isu Kontemporer
Dasar
terhadap suatu pemikiran adalah islam sebagaimana yang telah menjadi apa yang
kita yakini sebagai agama yang paling benar. Begitu pula dengan agama-agama
lain yang berpikir demikian. Meskipun awal atau asal muasal dari munculnya isu-isu
kontemporer lebih banyak dicetuskan oleh Negara barat atau doktrin dari agama
non muslim, namun jika dibandingkan dengan keadaan sekarang yang mulai
menafsirkan suatu istilah dari isu-isu kontemporer itu untuk semua agama di
dunia dan bukan hanya terpaku pada satu aspek agama saja. Contoh konkrit dari
hal tersebut adalah ketika menyebut istilah fundamentalisme. Kata
fundamentalisme merupakan suatu istilah yang awal mulanya dicetuskan oleh
Negara-negara barat yang kini mulai umum digunakan dan tidak mengkhususkan pada
satu aspek agama saja. hal yang paling konkrit adalah ketika kita sering
mendengar kata “fundamentalisme dalam beragama”. Kata tersebut membuktikan
bahwa tidak lagi adanya pengkhususan terhadap istilah-istilah yang muncul pada
masa kontemporer yang meskipun demikian dicetuskan oleh Negara-negara barat
yang kini mulai diangganp sebagai suatu yang umum.
Kitab
Al-Quran memiliki sejarah yang benar-benar berbeda. Sebagimana telah kita
ketahui semenjak ia untuk pertama kalinya diturunkan kepada manusia, ia
dihafalkan serta ditulis selam Nabi Muhammad saw masih hidup. Adalah kenyataan
bahwa Al-Quran tidak menghadapi masalah tentang keautentikan. [1]
Islam
mengatur segala sesuatu yang terjadi dibumi maupun diseluruh jagat raya ini.
Segala sesuatu diatur sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Quran dan hadis baik
kehidupan manusia dan prilakunya serta hal-hal yang berkaitan dengannya, apakah
hal tersebut boleh dilakukan atau tidak, serta menjadi tolak ukur sesuatu hal
dikatakanboleh atau tidak yang semua itu telah diatur kebolehannya. Begitu pula
dengan isu-isu kontemporer yang berupa istilah-istilah dimana istilah-istilah
tersebut berawal dari pencetusan oleh Negara-negara berat yang berkaitan dengan
agamanya (non muslim). Perlu jeli menanggapi istiah tersebut atas setuju dan
tidak setujunya atau pro dan kontra kita terhadap hal tersebut karena
memungkinkan kita menjadi seorang yang bisa dianggap kafir
oleh sebagian pihak lain. Meskipun kafir dan tidaknya sesungguhnya tidak dapat
dinilai hanya dengan pro dan kontra kita terhadap suatu istilah saja. namun
sebagai seorang yang beragama islam haruslah memperhatikan hal ini dengan
sangat jeli.
Terkait hal
ini, banyak memunculkan gerakan-gerakan pembela islam. Gerakan-gerakan tersebut
merupakan gerakan yang bertujuan untuk
membela islam segala hal harus sesuai dengan islam.
Akar gerakan islam kontemporer adalah situasi
dimana perbedaan-perbedaan paham antara kedua aliran keagamaan
(tradisionalis-modernis) seringkali berkembang menjadi perselisihan yang tajam.
Perselisihan yang berkepanjangan ini, disamping semakin mengecilnya pengaruh
simpati terhadap organisasi (wadah) umat islam indonesia, juga telah
menimbulkan ketidak pastian bagi sejumlah komunitas islam dalam memilih
alternatif panutan keagamaannya. Khususnya yang menyangkut sikap-sikap politik.
Situasi demikian inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan islam
kontemporer di Indonesia yang
bervariasi. Adapun contoh dari gerakan islam kontemporer indonesia, diantaranya
ialah Gerakan Islam Jamaah, Gerakan Kelompok Islam Isa Bugis, Gerakan Jamaah
Islam Durani, dan sebagainya. Sekalipun gerakan-gerakan tersebut tidak
muncul lagi dalam bentuk organisasi karena dilarang oleh pemerintah, namun
pemikiran dan pemahaman ajaran yang pernah dikembangkan oleh gerakan-gerakan
tersebut telah banyak menimbulkan dampak sosial bagi penganutnya waktu itu dan
pada masyarakat islam lainnya.[2]
Kesempurnaan islam tidak menafikan agama lain.
Islam datang tidak dalam ruang hampa, tetapi islam datang sebagai penyempurna
bagi agama atau ajaran-ajaran sebelumnya. Islam datang sebagai perekat agama-agama
sebelumnya.[3]
C.
Fundamentalisme
a.
Pengertian Fundamentalisme
Fundamentalisme
adalah paham atau pemikiran yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai
dasar-dasar atau asas-asas. Secara
etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundamental yang berarti hal-hal
yang mendasar atau asas-asas. Sebagai sebuah gerakan (komunitas) keagamaan,
fundamentalis dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat
reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli
seperti tersurat dalam kitab suci. Gagasan dan posisi umat beragama yang
mengacu pada istilah “fundamentalisme” tampaknya masih perlu dielaborasi lebih
jauh lagi.
Kontroversi
mengenai istilah “fundamentalisme” berasal dari kenyataan bahwa istilah
tersebut bukan berasal dari islam atau agama-agama lainnya, melainkan berasal
dari agama Kristen protestan. Pandangan dasar yang menandai gerakan
fundamentalisme protestan ini adalah bahwa orang harus berpegang teguh pada
kitab suci secara leterlek, lebih-lebih dalam menghadapi pandangan evolusionisme
Darwin yang pada saat itu ramai dibicarakan kalangan agama.[4]
Tetapi, walaupun
asal-usul istilah fundamentalisme itu bukan berasal dari islam, sebagian
sarjana dapat menerimanya untuk dipakai dalam rangka menjelasakan fenomena
tertentu dari gerakan islam dengan catatan bahwa istilah itu tidak dipakai
sebagai cap atau label untuk mendiskreditkan islam sebagaimana yang sering kali
dilakukan oleh media massa melainkan sebagai sebuah konsep akademik yang
netral. Selain istilah “fundamentalisme islam” beberapa sarjana juga
menggunakan istilah “islamisme” sebagai padanannya, sementara yang lain mencoba
menggunakan istilah lain seperti “revivalisme”. Sementara itu banyak sarjana
yang menilai bahwa fenomena gerakan fundamentalisme islam sebenarnya adalah
gerakan politik sehingga mereka menyebutnya dengan “islam politik”.[5]
Terlepas dari perbedaan
sikap terhadap istilah “fundamentalisme islam” ini, kenyataan yang ada
menunjukan bahwa istilah itu masih digunakan hingga sekarang, bahkan oleh
mereka yang cukup kritis terhadap penggunaan istilah tersebut. Jadi, yang
terpenting barangkali bukanlah istilah itu sendiri melainkan pengertian yang kita berikan
terhadap istilah tersebut.[6]
Adanya fundamentalisme
dalam agama juga telah memunculkan bebera organisasi kemasyarakatan. Lebih
tepatnya bukan organisasi tetapi majelis ilmu, karena didalamnya juga membahas
kajian-kajian tentang islam.
Menurut
Tarmizi taher dalam bukunya menyatakan bahwa, krisis yang muncul dalam negara-negara yang
baru ini memberi ruang bagi sementara kalangan agamawan untuk membentuk
gerakan-gerakan radikal. Mereka berusaha menolak tatanan yang ada, baik sistem
negara, hukum dan kebudayaan, untuk kemudian diganti dengan sistem islam.
Penolakan mereka sangat radikal, dan begitu juga konsep kehidupan yang mereka
tawarkan. Berbeda dari kaum revevalis yang sekadar ingin mengembalikan
kemurnian islam atau kaum reformis yang bertujuan memodernisasi islam, kalangan
radikalis memepercayai kesempurnaan islam bagi seluruh dimensi kehidupan. Oleh
karenanya, mereka terus berusaha mengganti semua institusi sosial, ekonomi,
budaya dan politik dengan model islam.[7]
Memang benar adanya bahwa ketika tingkat emosi keagamaan itu muncul maka benar
dikatakan bahwa umat islam hanya menginginkan islam sebagai aturan hidup, bukan
hanya dalam proses peribadatan saja, namun mencakup lingkup sosial, budaya, dan
agama. Ketika disandingkan dengan islam, sesungguhnya islam telah mengatur
semua tatanan hidup manusia baik dari segi aturan ekonomi, hukum, sosial,
kebudayaan, dan lain-lain. Kesempurnaan yang dimiliki oleh islam yang tidak
dimiliki oleh agama lain sangat dirasakan bagi seorang yang mendalami betul
arti islam, menerapkan dalam kehidupan, cara berpikir dan berpandang. Sehingga tidak
heran jika dikatakan bahwa kelompok yang menolak berbagai tatanan
pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan sistem islam mengetahui
bahwa esensi islam itu sendiri. Jadi
tidak dapat kita menyalahkan terhadap hal tersebut.
Namun
demikian, dengan tidak terwujudnya masyarakat yang adil, para penguasa muslim dianggap
sebagai penerus kebijakan –kebijakan ekonomi
dan politik yang pada abad pertengahan 1970-an, telah mengantarkan pada
krisis yang memunculkan gerakan-gerakan fundamentalis.[8] Gerakan-gerakan inilah yang sering
memunculkan banyak spekulasi bahkan
gerakan-gerakan ini dianggap sebagai teror kancah politik. Tampaknya, sampai
dimanapun perdebatan ini akan senantiasa ada, namun yang jelas untuk sementara
waktu bahwa berbagai peristiwa teror, bom bunuh diri dan lain-lain sejenisnya
akhir-akhir ini selalu diidentikan dengan islam.[9]
b.
Perspektif Islam Terhadap Fundamentalisme
Telah dijelaskan sebelumnya mengenai istilah-istilah tentang
fundamentalisme dan asal usulnya. Dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa
maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah “fundamentalisme”.
Kita hanya mendapatkan kata dasar istilah itu, yaitu al-ashlu dengan makna “dasar sesuatu “ dan “kehormatan”
. bentu pluralnya adalah ushul.
Dalam Al-Qur’anul Karim disebutkan.[10]
Berikut beberapa Ayat yang menyangkut dengan hal tersebut.
Artinya:
·
Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma
(milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas
pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan Karena dia hendak
memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik. (QS. Al- Hasyr : 5).
·
Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang
ke luar dan dasar neraka yang menyala. (QS. As-saffat : 64).
·
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (QS. Ibrahim:24).
|
Dari ayat diatas, warisan keilmuan islam dan
peradabannya, serta kamus-kamus arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah ‘fundamentalisme’
dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas istilah ini.[11]
Agama islam sebagai sebuah intuisi kebenaran
yang dijustifikasi oleh seluruh lapisan dan stratifikasi sosial, memainkan peranan penting bagi kelangsungan gerakannya dan menjadi sebuah
mekanisme internal yang terpenting dalam perkembangannya, karena memuat
seperangkat doktrin yang dirumuskan dalam sebuah maksud dan tujuan gerakan yang
diantaranya adalah fundamentalisme yang digunakan untuk menyebut gerakan
keagamaan dalam berbagai karya tulis, telah menjadi istilah yang sangat popular
dan bahkan controversial. Meskipun pada mulanya fundamentalisme menunjuk sebuah
fenomena gerakan Kristen Protestan , namun sekarang istilah ini secara luas
dipakai untuk menyebut gerakan yang terjadi dikalangan masyarakat Islam, Katolik, (sunni, syiah), Yahudi, Hindu
Budha dan Zoroaster.[12]
Meskipun demikian, jika makna fundamentalisme itu ditekankan pada originalitas
sumber serta prinsip-prinsip dasar ajaran islam terdapat kelompok kecil aliran pemikiran dalam islam,tapi secara intelektual sangat penting, yang
bisa dideskripsikan sebagai fundamentalisme. Kelompok ini berpendapat bahwa Al-Quran
dan Sunnah merupakan pokok sumber ajaran
islam dan mengikat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari; bahwa produk
pemikiran keagamaan klasik dan pertengahan tidak mengikat; bahwa dalam beberapa
hal produk pemikiran ini mengakibatkan kemalasan berpikir dalam islam; bahwa
selama masa kekaisaran islam, banyak penguasa muslim mengakomodasi terlalu
banyak tradisi lokal yang non islam; bahwa paling tidak terdapat tarekat sufi
terlibat dalam praktik-praktik ajaran non islam; bahwa mengkultuskan diri
seseorang dinilai sebagai politeisme; dan bahwa setiap muslim harus mempelajari
dan mengamalkan Al-Quran dan Sunnah serta menghilangkan taqlid buta, karena ini
penyebab kemunduran umat.[13]
D.
Tradisionalisme
a.
Pengertian Tradisionalisme
Berbicara tentang tradisionalisme, sesungguhnya adalah
sifat ideologis dalam arti merupakan sebuah paham atau pandangan yang dipegang oleh
sekelompok masyarakat yang sifatnya dogmatis dan tertutup karena berpegang kuat
atau dipandang sebagai sebuah kebenaran yang sifatnya final atas pandangan yang
dipegangnya itu. Jadi tradisionalisme merupakan sebuah sikap seseorang terhadap
sebuah tradisi. Jika seseorang tersebut menerima begitu saja sebuah tradisi apa
adanya tanpa sikap kritis, maka sikap seperti inilah yang dianggap sebagai
sikap tradisionalis.[14]
Baik istilah tradisionalisme maupun istilah
tradisionalis, keduanya bersifat negatif. Harun Nasution berpendapat bahwa
tradisionalisme itu adalah golongan umat islam yang berpandangan sempit dan
bertentangan dengan modernisasi. [15]Tampaknya
pandangan Harun Nasution ini adalah implikasi teologinya yang mendikotomikan
antara teologi rasional dan teologi tradisional.[16]
Teologi rasional
memberikan penghargaan yang sangat
tinggi terhadap akal ketimbang wahyu yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah,
sedangkan teologi tradisional kurang memberikan penghargaan terhadap akal dalam
arti wahyu lebih besar peranannya diwahyukan asy’ariyah.[17]Mungkin
itulah sebabnya sehingga Harun mendikotomikan pula antara Islam tradisional
dengan modernisasi, sebab modernisasi pada hakikatnya adalah identik dengan
rasionalisasi sebab di era modern, aliran filsafat yang mendominasi peradaban
barat dan juga mengalir deras keperadaban timur adalah aliran rasionalisme dan
empirisme. Aliran pikiran ini pulalah yang melahirkan pola pikir, oleh
Nurcholis Madjid setelah pola pikir ini di islamkan ala Indonesia dengan
istilah sekularisasi, yang juga bermakna rasionalisasi dalam arti menyakralkan
yang sakral memprofankan yang profana, jangan mencapuradukkan. Namun ternyata
di era kontemporer, era millenium ke tiga ini, meskipun arus modernis masih
kuat, akan tetapi ternyata model pemikiran era modernis yang telah digugat oleh
pola pikir postmodernis, yang salah satu ciri khasnya adalah bangkitnya kembali
kesadaran spiritual, yang mana arus berpikir postmodernis tersebut adalah juga
lahir di barat atau dalam tradisi intelektual barat.[18]Keterlibatan agama yang semakin kurang dalam
arena politik telah membawa dampak yang cukup fundamental tidak hanya dalam
kehidupan politik umat islam, tetapi juga pada perkembangan pemikiran agama.[19]
b.
Perspektif
Islam terhadap Tradisionalisme
Tradisionalisme memang erat kaitannya dengan tradisi baik islam maupun
tradisi yang diambil dari budaya lokal yang kemudian disatukan. Dalam islam,
menilai bahwa jika tradisi tersebut bertentangan dengan hukum-hukum
syariat , maka tradisi tersebut tidak boleh atau haram dilakukan. Seperti dalam
hadis Rasulullah yang dikutip dalam Dr. Supriyanto bahwa: “ Setiap hal yang
bersifat baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan
akan masuk neraka”.
Hal tersebut
merupakan masalah yang sebenarnya sangatlah terbukti masih ada hingga sekarang
ini karena semua menyangkut ke tradisionalisme, jika sebagai umat islam tinggal
memilih mana yang boleh dan tidak boleh. Jadi, jika semuanya dikembalikan pada
Al-Quran dan hadis, maka masalah-masalah seperti inipun akan dapat diselesaikan
meskipun tidak jarang terjadi silang pendapat antara pihak satu dan yang
lainnya.
E.
Sekulerisme
a.
Pengertian
Sekularisme
Istilah ini
berasal dari kata latin speculum yang berarti “masa” karena itu sekuler berarti
“beriorentasi pada masa sekarang”. Sekularisme adalah sebuah doktrin, semangat,
atau kesadaran yang menjunjung tinggi prinsip kekinian mengenai ide, sikap,
keyakinan, serta kepentingan individu. Sekularisme, dalam karakteristiknya
seperti yang ada didunia barat, adalah formulasi ide yang menegaskan bahwa
antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda dan terpisah.
Pengertian ini berdasarkan pada pengakuan bahwa “agama merupakan sebuah
keyakinan yang dipegang teguh manusia meskipun dalam pandangan yang berbeda”.[20]
Selain itu ada juga pernyataan lain mengenai arti atau makna dari sekularisme.
Sekularisme
dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah intuisi atau badan harus berdiri terpisah
dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan
kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang
netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama
tertentu sebuah agama tertentu. Istilah sekulerisme, pertama kali digunakan
oleh penulis Inggris George Holoyake pada tahun 1846. Walaupun istilah yang
digunakannya adalah baru, konsep kebebasan berpikir darinya sekulerisme
didasarkan, telah ada sepanjang sejarah. Ide-ide sekuler yang menyangkut
pemisahan filsafat dan agama dapat dirunut baik ke Ibn Rusyd dan aliran
filsafat Averoisme.[21]
Beberapa hal tentang sekularisme yang bisa
dijelaskan secara singkat dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
a. Urusan agama adalah wewenang pihak gereja,sedangkan urusan kehidupan dunia
adalah wewenang masyarakat pada umumnya. Agama adalah urusan individu yang
tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan publik dan kenegaraan.
b. Tuhan telah menciptakan manusia, adapun hukum-hukum yang mengatur kehidupan
manusia diserahkan sepenuhnya kepada manusia untuk membuatnya.
c. Dari paham sekulerisme ini terpancarlah aturan-aturan dan sistem kehidupan
terpancarlah darinya sistem ekonomi (kapitalis), sistem pergaulan kehidupan
yang bebas dan permissive (liberal) dan sistem politik pemerintahan
(demokrasi).[22]
Terkait tentang sekularisme yang telah dijelaskan diatas,
perdebatan tentang sekularisme didunia islam telah diwarnai oleh dua kesalahan
umum, yang selama ini diangganp benar. pertama yaitu keyakinan bahwa banyak
orang islam yang menyamakan antara
sekularisme dan atheisme, tidak bertuhan, penyimpangan, agnotisisme, materealisme,
nihilisme, relativisme etika, dan tidak mengenal agama. Padahal sekularisme
tidak seperti itu. Sekularisme bukanlah sesuatu yang a-moral, tetapi suatu
doktrin yang mendasarkan standar etika dan tingkah laku pada referensi
kehidupan sekarang dan kesejahteraan sosial tanpa merujuk pada agama. Dengan
kata lain, penekanan sekularisme adalah pada universalitas nilai-nilai
spiritual yang dicapai melalui banyak cara. Kesalahan kedua berkaitan dengan
ide bahwa keyakinan islam menentang sekularisasi dan karena itu tidak memiliki
potensi sama sekali terjadinya proses sekularisasi.pernyataan ini didukung oleh
alasan-alasan. Pertama, sebagian para mufassir menyatakan bahwa islam
tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Kedua, mereka juga
menyatakan bahwa hukum islam tidak bisa dengan mudah melakukan modifikasi
sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan yang lain. Ketiga,
sekularisasi dalam masa islam (Al-Quran)
dinilai sangat sulit. [23]
Memang banyak ketidaksetujuan terhadap sekularisme ini,
karena dianggap memisahkan antara agama dalam kehidupan, baik dalam politik
maupun pemerintahan. Tidak hanya itu, namun terdapat beberapa kelompok
sekularisme dalam islam yang tujuannya untuk menggantikan islam dalam segala bidang.
Penolakan terhadap sekularisme itu tidak hanya dilakukan
oleh kalangan cendekiawan muslim, tetapi juga dikalangan elite kristen. Seorang
pendeta Protetsan terkemuka pernah mengemukakan persepsinya mengenai
sekularisme, bahwa sekularisme adalah suatu paham yang ingin menjauhkan
masyarakat dari Tuhan dan agama. Paling tidak memang ada bukti sejarah, bahwa
melalui sekularisme, negara menjadi curiga bahkan anti agama. [24]
Sesungguhnya esensi seluruh agama, khususnya agama wahyu
tidak mengenal polarisasi sistem kehidupan antara dunia dan akhirat, sebab
esensinya adalah tauhid dan moral, dalam arti moral yang merupakan
implementasinya dari tauhid (monoteisme) tersebut. Akan tetapi interpretasi
tauhid dan moral yang dipersepsi oleh manusia dalam berbagai sistem kultur dan
budaya manusia dalam batas-batas tertentu adalah beragam, meskipundiakui akan
adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, kebijakan, serta kearifan yang
berlaku universal. Berbagai kendala yang menghadang berkaitan dengan isu
sekularisme ataupun sekularisasinya kontemporer apabila agama islam sebagai rahmatan
lil aalamin dapat diatasi jika
pendekatan yang berbasis kearifan lokal dengan kearifan universal dapat
diintegrasikan sesuai dengan semangat
Al-Quran serta semangat kemajuan zaman.[25]
Memang benar bahwa, agama dan ‘sentimen agama’ memang
merupakan dua hal yang berbeda. Siapapun sepakat Bahwa masyarakat kita adalah
masyarakat yang religius. Agama telah memiliki akar budaya yang kuat dalam
kehidupan sehari-hari, bahkan seperti bangsa-bangsa Asia lainnya, agama menjadi
sumber legitimasi sosial yang tidak bisa diabaikan.[26]
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali
ditegaskan dalam ajaran islam, yakni agama adalah kebutuhan fitrah manusia.[27]
Jadi, terlihat bahwa masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan agama dari
kehidupannya, meskipun masih ada beberapa hal yang agama tidak dicampuradukan
dalam masalahnya.
b. Perspektif Islam terhadap
Sekulerisme
Ketika dikaitkan sekularisme dengan islam, maka ada beberapa hal
yang memiliki keterkaitan dan ketidak sesuaian antara sekularisme dan islam.
Hal yang sangat konkrit adalah ketika kita mengimani islam, maka pada saat itu
pula kita melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari
segala yang dilarang atau diharamkan.
Perspektif islam terhadap sekularisme dapat
dari firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut.
Artinya:
2. Sesungguhnya kami
Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia
mendengar dan Melihat.
3.
Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir.
4.
Sesungguhnya kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu
dan neraka yang menyala-nyala. (Al-Insan : 2-4)
|
Ayat-ayat di atas memberitahu dengan jelas
kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk
apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di
dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah SWT, berupa
perintah dan larangan.
Selain itu, perintah untuk tidak memisahkan
agama (islam) dari urusan dunia termasuk politik dan keteraturan dalam
pemerintahan, sosial dan ekonomi, juga telah tertulis dalam firman Allah SWT berikut
ini.
Artinya:
·
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah :208).
·
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang
lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan
aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang Telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah : 48)
|
Dari ayat diatas, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa, sega yang kita lakukan didunia, ketika sudah mengimani islam
maka perintah untuk menjalankan perintah dan larangan secara keseluruhan. Jadi,
tolak ukur boleh dan tidak boleh kita sandarkan atas apa yang telah
diperintahkan dan dilarang dalam kitab suci Al-Quran dan Hadis dan tidak
memisahkan kehidupan kita dari agama apapun bentuknya.
F.
Kesimpulan
Dari pemaran diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Islam dan isu-isu
kontemporer merupakan dua hal yang berbeda, namun jika dilihat dari cara
pandang yang berbeda dari masing-masing pihak, maka akan menimbulkan perspektif
atau spekulasi yang berupa interpretasi berbeda pula. Meskipun secara arti dan
asal-usul bersumber memang bukan dari islam, tapi tidak salah jika kita lebih
teliti dan jeli dalam menaggapi isu-isu kontemporer yang ada jika ingin
mengaitkannya dengan islam.
2. Fundamentalisme adalah paham atau pemikiran yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai
dasar-dasar atau asas-asas.
3. Tradisionalisme merupakan sebuah paham atau
pandangan yang dipegang oleh sekelompok masyarakat yang sifatnya dogmatis dan
tertutup karena berpegang kuat atau dipandang sebagai sebuah kebenaran yang
sifatnya final atas pandangan yang dipegangnya itu. Jadi tradisionalisme
merupakan sebuah sikap seseorang terhadap sebuah tradisi.
4. Sekularisme
adalah sebuah doktrin, semangat, atau kesadaran yang menjunjung tinggi prinsip
kekinian mengenai ide, sikap, keyakinan, serta kepentingan individu.
Sekularisme, dalam karakteristiknya seperti yang ada didunia barat, adalah
formulasi ide yang menegaskan bahwa antara agama dan Negara merupakan dua
identitas yang berbeda dan terpisah.
[1]
Dr. Maurrice Bucaille, dkk. Pengetahuan Modern Dalam Qur’an. Surabaya.
Al-Ikhlas. 1995. Hal. 37.
[2]
Drs. Ahmad Syaukani. Perkembangan
Pemikiran Modern Di Dunia Islam. Bandung. Pustaka setia. 1997. Hal. 13.
[3]
M. Imdadun Rahmat. Islam Pribumi.
Jakarta. Penerbit Erlangga. 2003. Hal. 146.
[4]
Dr. Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
2008. Hal. 4.
[5]
Ibid. Hal. 4-5.
[6]
Ibid. Hal. 5.
[7]
Tarmizi Taher dan Eddy Kristiyanto,
dkk. Radikalisme Agama. Jakarta. PPIM-IAIN. 1998. Hal. 30.
[8]
Haideh Moghissi. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Yogyakarta. LKiS Yogyakarta.
2004. Hal. 2.
[9]
Abbas T. Metodologi Studi Islam.
Kendari. CV. Sahdar. 2008. Hal. 123.
[10]
Dr. Muhammad Imarah. Fundamentalisme
dalam Perspektif Barat dan Islam. Jakarta. Gema Insani. 1999. Hal. 12.
[11]
Ibid. Hal. 13.
[12]
Ahmad Jainuri. Orientasi Gerakan Islam Konservatisme, Fundamentalisme,
Sekulerisme, dan Modernisme. Surabaya. LPAM. 2004. Hal. 69-70.
[13]
Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam
Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 135-136.
[14]
Ibid. Hal. 145.
[15]
Harun Nasution. Islam Rasional, Gagasan
dan Pemikiran. Bandung. Mizan. 1998. Hal. 152.
[16]
Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam
Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 142.
[17]
Harun Nasution. Teologi Islam,
Aliran-aliran, Sejarah Perbandingan. Jakarta. UJ-Press. 1986. Hal. 86-87.
[18]
Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam
Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 156.
[19]
Johan Efendi. Pembaruan Tanpa
Membongkar Tradisi. Jakarta. Kompas. 2010. Hal. 116.
[20]Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam
Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 154.
[21]
M. Nur Kholis Setiawan. Pemikiran
Progresif dalam Kajian Al-Quran. Jakarta. Kencana. 2008. Hal. 20.
[22]Ibid. Hal. 21.
[23]
Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam
Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 155.
[24]
Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam
Untuk Sekularisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 26.
[25]
Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam
Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 158-159.
[26]
Moeslim Abdurrahman. Islam
Sebagai Kritik Sosial. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2003. Hal. 49-50.
[27]
Abuddin Nata. Metodologi Studi
Islam. Jakarta. Rajawali Press. 2008. Hal. 16.
izin copi mba
BalasHapusBagus artikelnya. Saya ada artikel senada di http://www.anakadam.com/2016/08/sekularisasi-sebagai-semen-sosial/ Terimakasih.
BalasHapus