Minggu, 20 Januari 2013

Studi Islam Kontemporer (Liberalisme, Pluralisme, & Modernisme



Studi Islam Kontemporer : Liberalisme, Pluralisme, dan Modernisme     
Oleh   : Siti Nurmaidah


A.     Pendahuluan

Dari masa kemasa Zaman makin berubah, pemikiran manusia mulai berkembang seiring dengan banyak kejadian dan fenomena yang mendukung kerja otak dan tingkah laku. Banyaknya paham-paham baru serta istilah-istilah baru untuk menginterpretasikan suatu hal dan masalah yang ada saat ini. Diantara banyak istilah yang ada tiga diantaranya merupakan liberalisme, pluralisme, dan modernisme. Tiga istilah tersebut merupakan istilah yang sering terdengar dan apabila diartikan atau diinterpretasikan kedalam bahasa Indonesia memiliki makna-makna tertentu.
Dalam studi islam kontemporer terkait dengan liberalisme, pluralisme, dan juga modernisme memiliki hakikat arti tersendiri yang disetujui dan tidak disetujui karena perbedaan paham dan juga paradigma disetiap pihak tertentu termasuk dalam aspek islam.
Dilihat dari berbagai aspek pendukungnya, liberalisme merupakan suatu istilah yang berarti suatu kebebasan yang telah menjadi hak seseorang dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam berpikir dan bertindak tanpa ada kaitanya dengan agama atau norma-norma adat istiadat. Seseorang memiliki kebebasan khususnya dalam hal pemikiran yang bebas yang didukung oleh tindakan. Contoh kecil yang seringkali terjadi berkaitan dengan hal tersebut sama halnya dengan mengungkapkan aspirasi atau bebas berpendapat dan tidak jarang seseorang cenderung melakukannya dengan turun kejalan untuk berdemo atau mengeluarkan pendapat mereka yang tentunya tanpa adanya kekerasan, karena hal itu mengganggu hak orang lain untuk merasa tenang dan tidak cemas. Kebebasan yang sebenarnya harus selaras degan apa yang telah ditetapkan oleh syariat  islam bukan hanya dengan mengikuti pemikiran semata tanpa adanya aturan yang mengatur kehidupan baik dari segi tindakan maupun perkataan.
Tidak jauh beda dengan pluralisme, paham tersebut merupakan suatu istilah yang ada kaitannya dengan liberalisme, namun perbedaannya adalah ketika liberal memiliki arti bebas dalam berpikir maupun bertindak, pluralisme memiliki arti banyak atau dengan kata lain yaitu jamak. Pluralisme berarti menganggap semua sama, anggapan sama adalah ungkapan untuk menyatukan adanya perbedaan baik dari aspek agama, budaya, serta bangsa yang begitu beraneka ragam. Meskipun demikian, masing-masing pemikiran tersebut tidak dapat dikatan bahwa semuanya sama terkait dengan agama sekalipun karena setiap individu pasti memiliki rasa mengaggungkan dan membenarkan apa yang telah dipercayai dan dianutnya. Ketentuan-ketentuan yang ada tidak jarang kita samakan meskipun sesuatu hal tersebut sangat sakralitas bagi kita.
Dalam lingkup modernisme juga tidak jauh beda dengan liberalisme dan pluralisme dalam keterkaitannya, akan tetapi dari segi arti modernisme berarti adanya kemajuan dari suatu pemikiran atau sifat yang menuju kepada perubahan dari yang tradisional atau yang terdahulu ke suatu kemajuan yang modern. Perubahan untuk maju  terkadang sampai berkeinginan untuk merubah sesuatu yang telah ada demi mengikuti perubahan jaman. Khusunya islam yang memiliki kitab Suci Al-Quran yang isinya tidak dapat diganti ataupun dirubah dengan apa yang telah ada didalamnya. Hal tersebut merupakan suatu kejadian yang telah beberapakali terjadi khususnya di Indonesia yang telah dilakukan oleh beberapa orang dari suatu organisasi untuk merubah dan mengganti dari isi Al-Quran.
Dengan studi islam kontemporer tentang liberalisme, pluralisme, dan modernisme harus disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan oleh AL-Quran dan Hadits maupun dari ijtihad yang telah dilakukan, sehingga tidak keliru pemahaman dari istiah-istilah tersebut.
B.      Liberalisme

a.      Pengertian Liberalisme
Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggung jawab. Tanpa adanya sikap tanggung jawab tatanan masyarakat liberal tak akan pernah terwujud.[1]
Liberalisme merupakan masalah kebebasan berpikir yang sebenarnya merupakan isu klasik dalam sejarah pemikiran islam. Isu itu mula-mula telah dilontarkan oleh Nabi saw sendiri, ketika mewawancarai Mu’adz ibn Jabal, ketika ia akan diangkat menjadi Gubernur Yaman. Bahkan juga telah muncul ketika Nabi melihat bahwa kata-katanya disalahpahami oleh seorang petani kurma di Madinah. Riwayat yang terakhir itu melahirkan adagium yang sangat terkenal “antum a’lamu bi umuri dunyaku”, engkau lebih tahu tentang masalah duniamu. Sedangkan riwayat pertama melahirkan konsep ijtihad, yang paling banyak diikuti oleh khalifah kedua Umar bin Khatab dalam memimpin negara melalui ijtihad-ijtihad, sehingga lahir konsep mengenai fiqih Umar bin Khatab yang dinilai banyak ahli menyimpang dari ajaran wahyu tetapi mengandung asas manfaat dan keadilan.[2]
Dalam liberalisme, penegakan hukum adalah sesuatu yang fundamental. Pengekangan atas tatanan publik dan keamanan adalah bertentangan dengan kebebasan, seperti yang dikatakan John Locke: : Berakhirnya fungsi agama bukan dengan cara melenyapkan atau menahan orang-orang yang dinilai melanggar, tetapi dengan cara melestarikan dan memperluas kebebasan”.[3]
Menurut John Locke, negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Bukan untuk menciptakan kesamaan, atau untuk mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, melainkan justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Dengan milik (property) dimaksud tidak hanya barang milik (estate), melainkan juga kehidupan (live) dan hak-hak kebebasan (liberties). Inilah hak-hak tak terasingkan (inalienable rights) dan negara justru didirikan demi untuk melindungi hak-hak asasi itu.[4]
Banyak hal yang terkait dengan liberalisme, namun dalam pandangan islam, sebaiknya dalam kebebasan yang diusung oleh suatu keliberalismean harus sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci Al-Quran dan Hadis. Bebas bukan berarti harus melakukan apa yang kita inginkan meskipun tanpa menganggu hak orang lain, namun sebagi seorang yang beragama, maka seharusnya kebebasan itu tidak melanggar atas apa yang disyariatkan.

b.      Ciri-ciri Pemikiran Liberalisme
Ciri-ciri pemikiran liberalisme yang paling menonjol adalah
a.      adanya kebebasan dalam berpikir yang kemudian di tuangkan dengan tindakan yang tidak mengganggu atas kebebasan pihak lain.
b.      Kebebasan berpikir juga mengacu pada ketoleransian dalam agama, suku, dan ras.
c.       Tidak mengambil agama dalam dasar pemikiran.
d.      Segala tindak dan tanduk didasarkan pada logika saja selama tidak menggangu hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan.





C.      Pluralisme

a.      Pengertian Pluralisme
Menurut Nurcholish Madjid, mengungkapkan tanggapannya tentang pluralisme dalam buku yang dikutip oleh Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa, Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”  (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.[5]
Masalah yang seringkali terjadi dalam pluralisme adalah keagaaman. Kegamaan menjadi hal yang sangat sakral dan sensitif bagi seluruh umat beragama diseluruh dunia tak terkecuai di Indonesia yang merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim dan memiliki banyak keragaman budaya, agama, dan juga suku. Namun, tak jarang masing-masing individu memiliki keegoan tersendiri khususnya dalam beragama. Ketika masalah budaya dan suku dalam pluralisme tidak begitu menjadi polemik, lain halnya ketika kita berbicara tentang pluralisme dalam hal keagamaan. Hal inilah yang selalu menjadi polemik tatkala masing-masing pihak memiliki emosi keagamaan yang tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita masih terikat oleh suatu kesakralan dalam beragama, mentaati, dan menjauhi apa yang telah diperintahkan oleh Allah.
Sakralitas merupakan pengakuan adanya yang kudus, serta hormat kepada sesuatu yang kudus, yang mengatasi kehidupan kita. Spiritualitas adalah sikap menganut setiap agama terhadap dirinya sendiri berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan agamanya, sementara moralitas adalah sikap seorang individu terhadap orang lain dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan dan kesempurnaan orang lain.[6]
Sumber ajaran umat islam merupakan Al-Quran dan Hadis yang didalamnya telah tertera perintah dan larangan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhi. Ketika segolongan umat islam memiliki pendapat dalam masalah pluralitas beragaman yang masing-masing memiliki ayat yang memperbolehkan dan tidak terhadap kepluralitasan, apakah setuju dan tidak setuju akan kepluralitasan kita dalam menilai keberagaman agama karena kesetujuan dan ketidak setujuan terhadap hal tersebut memiliki pandangan yang berbeda oleh sebagian umat islam baik dari kalangan ulama maupun masyarakat biasa.
Perkembangan kehidupan yang sangat cepat akhir-akhir ini dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, telah menimbulkan suatu pertanyaan yang cukup mendasar berkenaan dengan kedudukan fungsi agama. Kehidupan modern telah menunjukan bahwa sejarah hidup umat manusia dapat berjalan tanpa “campur tangan” agama.[7]
Sejalan dengan itu, umat beragama seringkali menimbulkan persoalan-persoalan itu terkait erat dengan paham keagamaan, tradisi, keluasan wawasan dan sebagainya yang tumbuh bersama atau yang disebabkan oleh keberagaman masing-masing individu.[8]
Dengan demikian, seharusnyalah orang menghilangkan penggambaran pengikut agama lain sebagai musuh untuk dapat hidup dalam kemajemukan secara harmonis. Ini memang tidak mudah. Pengakuan yang jujur akan memungkinkan “kesalahan” (disamping kebenaran yang biasanya diklaim adanya pada diri sendiri) dalam konsepsi sendiri dan kemungkinan “kebenaran” pada orang lain, sudah barang tentu diperlukan juga.[9]

b.      Ciri-ciri Pemikiran Pluralisme
Dari pemaparan tentang pengertian pluralisme, ada beberapa ciri tentang pemikiran yang pluralisme antara lain sebagai berikut:
1.      Adanya sikap netral terhadap perbedaan ras, suku, dan agama.
2.      Menjalin suatu kerjasama yang baik.


D.     Modernisme

a.      Pengertian modernisme
Modernisme adalah paham yang terkait dengan kemajuan berpikir seseorang dengan menghasilkan sesuatu yang baru sesuai dengan perubahan dari masa lampau menuju ke masa modern atau masa yang lebih maju. Pemikiran yang maju ada bernilai positif dan juga negatif. Modernisme dapat bernilai positif apabila ditempatkan pada tempat yang tepat. Misalnya, ketika pemikiran yang modern tersebut digunakan dalam ilmu pengetahuan dengan membuat sebuah penemuan baru berupa handphone yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. Namu, ketika pemikiran yang modern tersebut tidak ditempatkan pada tempat yang tepat, maka itu dapat menyesatkan sehingga menimbulkan  problematika persoalan. Misalnya, pemikiran modern yang mencoba mengubah sebagian ayat Al-Quran demi menyetaraan dengan zaman yang baru. Hal tersebut pernah menjadi problematika di Indonesia oleh seluruh  umat muslim yang tidak setuju dan ditentang keras atas adanya pembaruan atau perubahan tersebut yang akan dilakukan oleh beberapa pihak yang tergabung dalam suatu organisasi.
      Sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. [10]Jadi, modern harus sesuai dengan logika, dapat dijelaskan dengan cara-cara yang ilmiah, dan harus sesuai dengan adanya hukum yang berlaku di alam.
      Dalam islam, modern pasti ada dengan kemajuan dan perubahan zaman yang sangat cepat, segala yang baru muncul dan berdatangan dimana yang pada zaman Rasulullah tidak ada namun pada zaman sekarang telah ada. Hukum dan peraturan yang ada yang telah ditetapkan dalam Al-Quran untuk mengatur seluruh kehidupan manusia dibumi tidak akan pernah dapat diperbarui atau dirubah seperti yang telah terjadi pada kitab-kitab agama lain, karena kitab Al-Quran selalu seiring dengan keadaan-keadaan zaman dari waktu. Namun demikian, kemodern yang kita kenal pada masa sekarang dalam islam kita kenal dengan istilah ijtihad. Ijtihad adalah istilah yang sangat terkenal, karena istilah tersebut merupakan istilah yang berarti mengacu pada penggalian terhadap hukum suatu benda, apakah benda tersebut diperbolehkan atau justru malah diharamkan ketika digunakan atau dikonsumsi.
      Ketika kita berbicara mengenai modernisme, maka ada beberapa istilah yang erat kaitannya dengan modernisme yaitu neo-modernisme.
Perbedaan mendasar antara kaum “modernis” dan “neo-modernis” terletak pada perhatiannya dalam tradisi. Kaum “neo-modernis” berusaha membangun visi islam di masa modern, dengan sama sekali tidak meninggalkan tradisi (warisan) intelektual islam itu sendiri sedangkan kaum “modernis lama” lebih banyak bersifat apologetik terhadap gagasan modernitas. Tentang hal ini, Nurcholish sangat menekankan pentingnya tradisi dalam kebangkitan islam Indonesia yang modern, seperti katanya “diperlukan kesadaran akan kekayaan tradisi, sekaligus kemampuan untu senantiasa membuat inovasi...(dalam) ruang Indonesia dan zaman modern”.[11]
     
b.      Ciri-ciri pemikiran modernisme
Terdapat beberapa ciri pemikiran yang modernisme diantaranya sebagai berikut.
a.      Selalu bersifat pembaharuan dengan penemuan-penemuan yang baru.
b.      Adanya hal-hal baru yang ingin diperbarui baik dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain.
     

E.      Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa segala bentuk istilah seperti liberalisme, pluralisme, dan modernisme adalah bentuk dari kemajuan bangsa. Namun dengan adanya istilah tersebut tentunya memiliki pemahaman yang berbeda dilihat dari segi arti dan juga fungsi pada setiap istilah yang ada. istilah yang bisa mengacu pada sesuatu yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan dalam agama. Dari hal tersebut maka disimpulkan bahwa penegertian dari suatu  istilah dapat memahamkan kita terhadap istilah tersebut sehingga memunculkan suatu tindakan terhadap setuju atau tidak. Maka dapat disimpulkan, pengertian dari liberalisme,pluralisme dan modernisme adalah sebagai berikut.
1.      Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas.
2.      Pluralisme adalah paham yang mengakui adanya pemikiran beragam agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain. Pemikiran yang menitik beratkan pada toleransi dalam perbedaan agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain.
3.      Modernisme adalah paham yang terkait dengan kemajuan berpikir seseorang dengan menghasilkan sesuatu yang baru sesuai dengan perubahan dari masa lampau menuju ke masa modern atau masa yang lebih maju. Pemikiran yang maju ada bernilai positif dan juga negatif. Modernisme dapat bernilai positif apabila ditempatkan pada tempat yang tepat.
Dalam ketiga istilah tersebut juga sangat berkaitan erat dan saling berhubungan satu sama lain jika ditinjau dari segi pengertian secara istilah yang sama-sama menekankan pada ketoleransian terhadap pendapat dan juga tidak adanya pertentangan atas perbedaan yang ada.




[1] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 3.
[2] Budhy Munawar-Rachman. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 36
[3] Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam Untuk Liberalisme. Jakarta. Grasindo. 2010. Hal. 4
[4] Frans Magnis Suseno. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1999. Hal. 221.
[5] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta. Srigunting. 2001. Hal. 39.
[6] Dr. Suprianto, dkk. Studi Islam Kontemporer. Kendari. Membumi Publishing. 2010. Hal. 159.
[7] Ibid. Hal. 161
[8] Ibid. Hal. 161
[9] Ibid. Hal. 163
[10] Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan keindonesiaan. Bandung. Mizan. 2008. Hal. 180.
[11] Budhy Munawar-Rachman. Islam Pluralis. Jakarta. Srigunting. 2001. Hal. 356.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar